Sabtu, Desember 22, 2012

Hari Ibu untuk Waria?


Kemarin ibuku dicurhati oleh seorang waria yang biasa mengamen, dia sering memanggil ibu saya tante, bu dhe, atau juga mamah. dia bercerita kalau 5 tahun yang lalu dia didatangi oleh seorang mahasiswi yang memberikannya seorang bayi. awalnya dia tidak mau, karena dia bingung kelak anaknya akan memanggil dia siapa. Singkat cerita weria berhati mulia itu pun mau merawatnya.

Masalah pun datang, mahasiswi busuk tersebut tiba-tiba datang ke rumah si waria. Dia menginginkan anak itu kembali, tanpa menawarkan ganti rugi sepeser pun, menurut saya dia benar-benar tidak manusiawi. Dia mempermainkan 2 makhluk hidup selain dirinya sendiri, yaitu darah dagingya dan orang lain.

Waria tersebut secara tidak langsung menawari ibu saya untuk mengasuhnya, dia sangat ketakutkan kalau-kalau anaknya yang masih kecil itu nanti diculik. sampai saat ini anaknya dititipkan ke rumah temannya.

Aku kira kemarin ibuku akan pulang dengan membawa seorang adik, ha ha ha
Mungkin siapa tahu hari ini ibuku pulang membawa anak tersebut.. :D

Tulisanku ini, ceritanya naskah monolog,
adalah wujud rasa kangen terhadap dunia tulis-menulis,
aku sudah lama tidak menulis tulisan-tulisan semacam ini,
terakhir kali aku ingat aku menjadi jarang menulis adalah setelah KKN,
mungkin sewaktu itu aku sedang labil-labilnya sehingga lupa dengan urusan tulis menulis.
Sekarang aku sudah kembali.


Untuk para waria yang beranak,
aku ucapkan selamat hari ibu untuk kalian. :)

salam #mawarnakal


-------------------------------------------------------------------------------------------------------


Hari Ibu untuk Waria?

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku benci mahasiswa, mereka munafik.
apa yang diomongkan tidak seperti apa yang dbicarakan.
Omongannya terlalu besar, bukti nyatanya kecil.

Bukan mahasiswa jaman dulu lho, tapi mahasiswa jaman sekarang.
berani cuma demo rame-rame, kalau jumlahnya sedikit cuma mlempem, kalaupun jumlahnya banyak, tetap saja nggak berani berbuat anarkis. Lha kalau memang harus berdemo dengan melakukan pengerusakan ya nggak apa-apa khan kalau memang harus dirusak. Lebih baik uang-uangnya jelas untuk biaya perbaikan kerusakan daripada tidak jelas siapa yang ngembat.
Sejak detik ini juga saya benci mahasiswa.
mereka terlalu busuk dalam kemunafikan mereka.

Apalagi anak-anak muda yang di LSM, yang kadang nggak dong apa-apa cuma asal ikutan nimbrung.
sok ngasih solusi padahal tidak tahu bagaimana yang sebenarnya terjadi. Di mata orang pun mereka istimewa, bahkan di mata Negara, buktinya ada pilihan mahasiswa di KTP.

Aku pokoknya benci mahasiswa. Titik.
Sewaktu mereka butuh mereka selalu terlihat heroic seperti penyelamat, kalau tidak butuh ya seperti itu. Pernah suatu ketika ada anak muda dari LSM apa saya lupa, nggak penting, nah, mereka memberika penyuluhan tentang HIV AIDS.

Sebagian mereka ada yang jijik dengan orang-orang seperti aku. Tidak masuk akal sama sekali, kalau mereka jijik dengan orang-orang seperti kami kenapa mereka mau repot ke daerah-daerah terpencil yang banyak didiami oleh orang-orang istimewa seperti kami. Kami tidak butuh sok diperjuangkan haknya sebagai manusia, diperjuangkan sih boleh-boleh saja, tapi tidak usah sok diperjuangkan. Walaupun aku tidak pernah kuliah, tapi aku tahu benar arti diperjuangkan dan diperjuangkan.

Aku benci mahasiswa, mereka munafik, mereka tidak lebih baik dari pelacur-pelacur di tempat prostitusi. Mereka selalu menyebut koruptor sebagai pelacur rakyat, berpura-pura baik di depan rakyat tetapi ujung-ujungnya mencari keuntungan sendiri. Tetapi aku melihat sendiri kalau beberapa dari mereka benar-benar pelacur.

Aku ingat jelas dengan muka wanita itu, dalam suatu kegiatan religi dia berkata panjang lebar soal agama. Saya hampir tobat pada waktu itu, mungkin sewaktu itu saya sedang kesambet. Omongannya reliji sekali sampai-sampai saya sempat merenung beberapa hari. Tetapi aku melihat dia keluar dalam keadaan mabuk dari sebuah tempat disko, diantar mobil sama om-om dalam keadaan tidak sadar. Aku lihat sendiri dengan mata kepala sendiri. Waktu itu aku sedang mengamen malam-malam di sebuah pertigaan jalan yang cukup besar. Aku melihat dia tertidu, sepertinya mabuk, di dalam mobil. Aku Tanya ke om-om tersebut, dari tempat dugem ya om? Berisik, mau tau aja. Bentak om-om itu sambil memberikan uang ribuan. Aku sangat hafal dengan perempuan itu, tidak mungkin tidak. Dia adalah mbak-mbak yang memberikan ceramah religi kepadaku. sepertinya mahasiswa-mahasiswa itu benar-benar makhluk munafik, aku yakin sekali kalau makhkuk yang disebut ayam kampus tidak berjumlah sedikit.

Hari ini aku benar-benar malas keluar rumah, biar saja aku tidak keluar rumah. Aku sakit hati. Apalagi kalau bertemu mahasiswa. Aku tidak takut kelaparan, sebelumnya aku pernah berpuasa berhari-hari, dan aku tidak mati. Pokoknya kalau dia berani mendatangi rumah ini lagi akan kubunuh dia, mayatnya aku potong-potong terus aku buang ke kali belakang rumah.

Lima tahun yang lalu dia ngemis-ngemis nangis buat ketemu aku, tapi sekarang? Dia kok mau semaunya sendiri sama aku. Memangnya aku makhluk apaan? Walaupun aku banci aku juga punya harga diri. Aku kira dia adalah malaikat yang dikirim tuhan, ternyata dia tukang pe ha pe, tukang pemberi harapan palsu. Pokoknya kalau dia macam-macam, aku akan bunuh dia. Pokoknya aku sudah memberikan buah hatiku kepada seorang pedagang di pasar.

Enak saja dia sewaktu butuh datang sama aku dengan seenaknya. Dia bilang “mbak, tolong rawat anak saya. Saya masih kuliah dan tidak punya penghasilan. Ini hasil hubungan gelap saya dan pacar saya. Tolonglah saya. Jangan lihat aku yang tidak bisa bertanggung jawab ini, tapi kasihanilah anak ini.” Aku ingat kelas muka melasnya waktu itu.

Sekarang dia sudah dapat pekerjaan, sukses, sudah kenal pasal undang-undang dan dunia hokum-hukuman seperti itu, terus mau seenaknya saja? Dikiranya nggak susah apa ngurusi anak? Memangnya biaya anak di TPA murah? Aku harus ngamen lebih lama dari biasanya untuk mencari uang tambahan untuk bayaran penitipan anak di TPA sewaktu aku ngamen. Sebenarnya tetangga-tetangga bersedia aku titipi anakku sewaktu aku pergi mengamen, tapi aku merasa itu kewajibanku, aku juga tidak mau merepotkan siapa-siapa. Dia menawarkan mau memberi puluhan juta. Kok enak sekali? Memangnya perasaan bisa dihargai dengan uang?

Aku tidak keberatan mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk mengurusi anak itu, aku ikhlas kok. Lahir batin ikhlas. Mentang-mentang aku ikhlas merawat dia tapi ya jangan juga dimita seenaknya..? Memangnya aku cuma korban waktu dan uang? Perasaanku nggak dihargai? Aku ingat jaman dulu, dimana banyak orang yang sok heroik memperjuangkan yang katanya adalah hak kami? Dan setelah sukses mereka pergi begitu saja. Tapi yang ini, setelah sukses ada yang kembali, tetapi malah membawa masalah. 

Oh iya, hari ini terima rapot anakku, aku lupa...

2 komentar:

  1. halo kak. Aku Nadya dari UMN. Aku baru baca tulisan kakak nih. Aku mau izin boleh ga pakai tulisan ini untuk bahan monolog di tugas jurnalistik aku? Lalu aku boleh minta alamat email kakak kah? Biar enak gitu ngobrolnya. Makasih.

    BalasHapus
  2. Mohon maaf amat sangat terlambat dalam membalas pesan njenengan.

    Tulisan ini untuk umum,
    dan mau diapakan saja, oleh siapa pun terserah.

    Mau diklaim sebagai karyanya juga tidak apa-apa 🙏

    Rahayu.

    BalasHapus