Saya suka membaca cerpen,
tetapi saya tidak suka membuat cerpen karena saya merasa tidak bisa membuat cerpen.
Pada
awalnya saya ingin membuat tokoh Rosena sebagai sebuah simbol dalam cerita.
Saya tidak mau menjelaskan Rosena sebagai simbol apa, saya biarkan pembaca
mengartikannya sendiri. Toh saya juga tidak tahu dan tidak bisa menjelaskan
apa, he he he
Ini sebenarnya adalah
cerpen yang harus dibuat untuk kepentingan tugas kuliah.
Tugas kuliah tersebut adalah membuat sebuah cerpen berdasarkan lirik sebuah lagu.
Tugas kuliah tersebut adalah membuat sebuah cerpen berdasarkan lirik sebuah lagu.
Lagu yang saya pilih
adalah "Don't Worry" , lagu reggae yang dinyanyikan oleh Tony Q.
Beberarap waktu yang
lalu saya menganggap lagu tesebut sebagai lagu mars dalam membuat skirpsi.
Lirik-liriknya membuat
saya bersemangat dan pantang menyerah dalam menjalani perkuliahan. Tetapi
sayangnya saya sudah bosan dan tidak terinspirasi apa-apa lagi dari lagu itu,
he he he
Ide dari cerpen ini
awalnya adalah perjuangan seorang mahasiswa untuk lulus, ha ha ha
Tidak tahu kenapa dalam proses pembuatannya saya memiliki keinginan untuk membuat cerpen ini terlihat imut. Bisa jadi penyebabnya adalah mata kuliah yang satu ini saya ambil sekelas dengan anak semester 3. Sebenarnya saya belum mengambil mata kuliah ini karena suatu kecelakaan, orang-orang mengira saya mengulang mata kuliah ini. Saya biarkan saja, toh saya sendiri juga memang sering mengulang, ha ha ha
Tidak tahu kenapa dalam proses pembuatannya saya memiliki keinginan untuk membuat cerpen ini terlihat imut. Bisa jadi penyebabnya adalah mata kuliah yang satu ini saya ambil sekelas dengan anak semester 3. Sebenarnya saya belum mengambil mata kuliah ini karena suatu kecelakaan, orang-orang mengira saya mengulang mata kuliah ini. Saya biarkan saja, toh saya sendiri juga memang sering mengulang, ha ha ha
Saya
sebenarnya ingin membuat tokoh Rosena ini bagaikan mawar indah yang tidak bisa
melihat keindahannya sendiri. Salah satu penyebabnya adalah saya sering muak
melihat orang-orang yang tidak indah tetapi sok indah (artikan sendiri, he he
he ). Saya ingin memperlihatkan kepada orang-orang sok indah tersebut kalau ada
sesosok makhluk yang benar-benar indah tetapi tidak pernah merasa indah,
apalagi sok indah. Saya bukan cerpenis handal, jadi maklum saja ide-ide
saya tidak bisa disampaikan dengan jelas, he he he
Beberapa perempuan berkata kepada saya agar membuat lanjutan cerita ini, dan mereka berharap cerpen ini berlanjut menjadi novel. Mungkin pada saat itu mereka sedang kesambet, atau mungkin berusaha menghibur saya karena tulisan saya jelek.
Selamat
membaca,
Salam #mawarnakal ...
Rosena
Pagi
ini terasa sangat memuakan, udara yang tercium tidaklah terasa segar tetapi
merasa busuk.
Burung-burung tak terlihat beterbangan di langit, matahari juga terasa membuat
panas keadaan.
Pagi itu Rosena harus terpaksa harus mandi.
Sebagai seorang perempuan dia terasa tertindas, pasalnya semua orang selalu
menuntut dia untuk terlihat sok imut.
“Apa sih gunanya mandi? Untuk membersihkan
badan khan? Sedangkan aku merasa badanku bersih? Aku akan mandi kalau aku sudah
merasa gatal-gatal, kenapa menjadi perempuan selalu dituntut untuk selalu
ribet.” keluhnya sambil menenteng handuk masuk ke kamar mandi.
Tak lama kemudian mahasiswa semester 8 itu pun
keluar dari kamar mandi. Aroma badannya wangi aroma keterpaksaan menjalani pagi
ini. Setelah berganti baju dia langsung menuju ke dapur yang terletak di
samping kosannya. Seperti biasanya, dia akan sarapan susu dan roti tawar.
Sembari dia membuat susu, di mulutnya ternyata
sudah terlihat roti tawar yang sudah tampak setengah. Dia memang tak pernah
berlama-lama sewaktu mengunyah makanan karena dia merasa itu tak berguna, toh
akhirnya sama-sama masuk ke perut juga.
“Lama-lama
kok hidupku rasanya muter-muter seperti susu ini ya?
diaduk-aduk agar bisa campur jadi satu, cuma untuk diminum.” Keluhnya sewaktu mengaduk susu cair dengan air panas, menu untuk sarapannya.
diaduk-aduk agar bisa campur jadi satu, cuma untuk diminum.” Keluhnya sewaktu mengaduk susu cair dengan air panas, menu untuk sarapannya.
“Bertele-tele
dibuat, berlama-lama diaduk, sama saja khan? Sebentar diminum juga sudah habis.
aku agak tak paham dengan sesuatu yang seperti ini. Menurutku membuat susu untuk diminum dengan cara mengaduknya hanya berfungsi untuk pemanis dilidah. Seandainya aku minum air hangat 1 gelas dan kemudian minum susu cair secara terpisah dalam waktu berdekatan, mungkin gunanya akan sama saja.“ ucapnya setelah menghabiskan susu hangat satu gelas sebelum dia bergegas berangkat kuliah.
aku agak tak paham dengan sesuatu yang seperti ini. Menurutku membuat susu untuk diminum dengan cara mengaduknya hanya berfungsi untuk pemanis dilidah. Seandainya aku minum air hangat 1 gelas dan kemudian minum susu cair secara terpisah dalam waktu berdekatan, mungkin gunanya akan sama saja.“ ucapnya setelah menghabiskan susu hangat satu gelas sebelum dia bergegas berangkat kuliah.
Dia
berjalan kaki dari kosannya menuju kampus, jarak kosnya tidak begitu jauh.
Sepatu yang digunakan tidak dipakainya dengan
benar, seatu tersebut diinjak bagian belakangnya. Sepatunya adalah sepatu bekas
kakaknya dulu yang tidak dipakai lagi karena sudah kekecilan. Hal kecil yang
tidak begitu penting tersebut menjadikan Rosena seperti seorang pencuri
perhatian. Tetangganya ada yang sudah terbiasa melihatnya, ada juga yang
tetangganya yang walaupun sudah sering melihatnya masih juga terheran-heran,
ada juga orang-orang yang menolehkan kepala setelah melihatnya cara mengenakan
sepatu, sepertinya hendak meyakinkan apa yang dilihatnya.
Rosena memiliki paras yang cantik, rambutnya
yang panjang tergerai cantik alami walaupun tidak pernah ke salon. Walaupun
cara memakai sepatunya sembarangan, tetapi dengan sekali melihatnya siapa pun
akan tahu kalau sepatu dia adalah sepatu converse, sepatu yang cukup ternama
dan cukup mahal.
Sebenarnya Rosena adalah anak orang kaya yang
kekayaannya secara berlebihan. Ayahnya memiliki showroom mobil, sedangkan
ibunya mengelola 2 rumah makan yang cukup besar. Mungkin dia adalah anak yang
bodoh karena tidak memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya, seperti
memakai uangnya untuk perawatan ke salon, membeli pakaian bermerk ternama
dengan harga mahal, atau mungkin meminta kendaraan jenis terbaru untuk
mengantarnya kemana saja dikota tepat dia kuliah.
Kurang dari 10 menit sampailah dia di depan
pintu kelas, dia sudah terlambat beberapa menit dari jam mulai pelajaran
seharusnya, tetapi yang dilihatnya pertama kali adalah bangku dosen yang
kosong. Kemudian dia bertanya kepada salah seorang temannya yang sedang autis
bodoh dengan handphone canggihnya setelah menepuk pundaknya, “Dosennya kemana?
Sudah datang?”.
“Kamu
kaya nggak tahu saja kebiasaan dosen itu, paling-paling telat.”
“Tapi
ada khan? Aku soalnya mau bimbingan skripsi hari ini.”
“Kamu
mau bimbingan? Ciyus? Miapah?”
“Hah?
Kamu itu ngomong apa? Aku nggak dong bahasa kamu.”
“Maksudku
kamu beneran mau bimbingan?”
“Ya
iyalah, ini lagi mau ngajuin proposal.”
“Buru-buru
cepet lulus banget”. Sahut temannya acuh tak acuh sambil tetap autis bodoh
dengan handphone canggihnya. Setelah mendengar jawaban dari temannya yang
bermuka maksa dengn penuh dempulan, dia segera mencari tempat duduk.
Tak
lama kemudian dosen yang seharusnya datang tepat waktu itu pun tiba.
“Anak-anak,
bapak ada acara. Sebagai gantinya kalian membuat tugas. Ini tugasnya sudah
bapak siapkan. Oh iya, teman kalian yang tidak masuk tidak usah diberi tahu
kalau ada tugas. Kalian besok absensi 2 kali, kalau mengerjakan tugas.” Kata
bapak itu sembari bergegas meninggalkan kelas.
“Sebentar
Pak!” teriak Rosena.
“Ada
apa ya? Tanya dosen tersebut.
“Saya
mau menyerahkan proposal skripsi Pak.” Ucap Rosena sambil mendekat dan segera
menyerahkan proposalnya.
“Nanti
saya baca. Minggu depan kamu datang ke ruangan saya ya.” Jawab dosen tersebut
sambil meninggalkan Rosena pergi.
Rosena
tidak menjawabnya, dia tidak terlihat jengkel karena tingkah dosen tersebut
yang terkesan seenaknya.
Matahari
semakin terasa menyebalkan panasnya, kicau burung tidak terdengar satu ekor
pun, hanya tercium udara panas dan terdengar berisik kendaraan.
Rosena menghindari itu semua. Dia memilih
berada di taman belakang kampusnya dan duduk dibawah pohon yang cukup besar
dengan lesehan tanpa alas. Tidak ada yang dia kerjakan, dia cuma duduk –duduk
saja nyaris seperti anak hilang. Dia merenung merasa muak dengan hidupnya yang
terasa seperti sudah dipaksa dan tanpa kebebasan.
Kejadian pagi hari juga mengganggunya, mulai
dengan kebiasaan mandi yang dia tidak suka, teman tololnya penganut aliran
konsumerisme fanatik, dan proposal skripsi yang sudah dibuat berminggu-minggu
tetapi ditanggapi dengan tidask sesuai harapan. Semuanya seperti sudah
terencana untuk membuat hari indah Rosena menjadi terasa berantakan.
Sampai sekarang ini dia masih bingung kenapa
perempuan harus terlihat cantik dan anggun. Dia selalu bertanya-tanya kenapa
harta kekayaan selalu menjadi sesuatu yang dipamerkan. Dia selalu tidak terima
dengan keadaan dimana orang harus berusaha tampak sempurna. Sebenarnya dia
hanya ingin hidup apa adanya dengan sesukanya, termasuk perempuan yang tidak
dipandang jijik ketika tidak mandi.
Tak lama kemudian dia mengeluarkan buku yang
berjudul Nada Kedelapan.
Buku itu dilihatnya secara perlahan. Dia buka, dia baca, dan dia merasa sangat
menikmatinya. Sesekali dia juga terlihat tampak jelas sekali sedang menahan
senyum.
Sebenarnya buku itu adalah buku kumpulan puisi
anak-anak disebuah panti asuhan. Buku itu nantinya akan diperbanyak dan akan
dijual untuk kelangsungan hidup anak-anak di panti asuhan tersebut. Rosena
sendiri yang mengurusi dan membantu penerbitan buku itu.
Tiba-tiba dia menutup buku itu, dan melihat
sampulnya. Nada Kedelapan. Sebuah nada yang belum diketemukan. Dia kemudian teringat pertemuannya beberapa tahun
lalau dengan Budi di bawah sebuah jembatan. Budi adalah penghuni panti asuhan
yang dia carikan dana. Sewaktu itu Budi yang berpakaian dekil dan
compang-camping sedang terisak menangis, dan Rosena menghampirinya.
“Kamu
kenapa dik?” Tanya Rosena sambil membelai lembut kepala anak itu.
“Saya
habis dipalak sewaktu ngitung uang. Padahal uangnya mau saya kasih ke
bapak.”jawabnya sambil tersedu-sedu.
“Kamu
ngamen? Minta-minta? Disuruh bapakmu dik?”
“Saya
nggak disuruh, saya minta-minta sendiri”
“Pulang
aja yuk, nanti kakak antar.”
“Nggak
mau, saya mau kasih uang ke Bapak.”
Walaupun
Rosena tidak mengenal anak itu, dia merasa iba dengan anak itu. Pakaian anak
itu tidak membuatnya Rosena merasa jijik dan berpikiran buruk kepadanya.
“Gini
saja dik, uang kamu kakak tukar. Tapi kakak harus antar kamu pulang.”
“Beneran
mbak? Tanya anak itu dengan polosnya sambil mengusap air matanya.
“Ehm,
iya. Malah mbak tukar 2 kali lipat.” Ucap Rosena sambil menyesesuaikan
panggilan anak itu.
“Rumahku
di panti asuhan diujung jalan sana. Ada gang kecil nanti masih jalan sebentar.
Mbak jadi mengantar?” tanya anak itu dengan riang.
“Ayo
segera pulang. Bapakmu sudah menunggu dirumah.” Ajak Rosena sambil mengusap air
mata anak itu.
Setelah sampai di panti asuhan tempat Budi
tinggal, Rosena menjadi tahu kalau rumah tersebut akan digusur karena pengurus
panti asuhan tersebut sudah tidak pernah mendapat donatur lagi. Anak-anak yang
tinggal disitu terpaksa harus bekerja sepulang sekolah, bahkan ada yang sudah
berhenti sekolah.
Rosena sangat benci keadaan yang ada
disekitarnya, termasuk menjadi anak orang kaya yang dipandang orang. Dia merasa
terpenjara dengan keadaannya sendiri, tidak ada yang memaksanya, tetapi dia
merasa dituntut untuk terlihat sebagai perempuan yang sempurna dimata banyak
orang. Dia sangat benci keadaan itu.
Kali
ini dia akan merasa sangat bersalah sekali karena dia harus berkata “Pak, saya
adalah..? Saya akan membeli rumah ini berapapun harganya agar anak-anak asuhan
bapak bisa tetap tinggal disini. “
“Bukannya
apa, tetapi mbak siapa ya?” tanya bapak pengurus panti tersebut dengan gemetran
tidak percaya.
“Orang
tua saya kebetulan adalah orang yang mampu. Dan saya yakin saya bisa meminta
orang tua saya untuk membeli rumah ini.”
“Saya
bukan tidak mau menerimanya. Tetapi saya merasa tidak enak kepada mbak. Saya
belum pernah bertemu dengan mbak.”
“Tidak
apa-apa Pak, saya lahir batin ikhlas.”
“Ini
bukan ikhlas dan tidak ikhlas mbak, saya benar-benar merasa tidak enak”Ucap
Bapak itu dengan mata yang mulai berair.
“Saya
tidak pernah membantu orang lain. Mungkin ini saatnya saya membantu orang lain
Pak.” Jawab Rosena dengan senyum manis dan menahan air mata.
“Mbak
membayar biaya kontrakannya saja saya sudah berterimakasih sekali.”
“Tidak
Pak, saya akan membeli rumah ini untuk anak-anak yang ada disini.”
Suasana tiba-tiba menjadi haru, Rosena dan
bapak pengurus panti asuhan berpelukan. Anak-anak yang melihatnya juga ikut
terharu. Budi yang saat itu melihat segera pergi kekamarnya untuk menangis
keras-keras.
Tanpa sadar Rosena tersenyum dengan mata berair
mengingat kejadian itu. Setiap mengingat pertemuannya dengan Budi, dia selalu
merasa sangat bersyukur dengan keadaannya saat ini. Dia
menjadi ingat kenapa dia tidak suka mandi dan terlihat rapi sejak awal kuliah,
Karena dia tahu tidak semua orang dapat minum air bersih tidak semua memiliki
pakaian yang kayak pakai.
Dia
merasa belajar banyak dari anak kecil yang bernama Budi. Sebelumnya dia pernah
menyesal karena dilahirkan sebagai anak orang kaya raya, tetapi setelah
kejadian itu dia merasa bersyukur karena dia bisa menolong orang lain dengan
keadannya itu. Setelah pertemuan dengannya, dia menjadi lebih bersemangat
menjalan hari-harinya, karena dia tahu banyak hal yang harus dilakukan sebelum
mimipi-mimpinya terwujud.
Cuaca
menjadi mendung perlahan,
Rintik-rintik air sudah terasa dikulit.
Rintik-rintik air sudah terasa dikulit.
Rosena
tidak segera berlari mencari tempat untuk berteduh,
tetapi dia segera mencari tempat sampah dan mengobrak-abrik isinya.
Dia mengambil sebuah kantong plastik dan memasukan buku Nada Kedelapan tersebut kedalamnya.
tetapi dia segera mencari tempat sampah dan mengobrak-abrik isinya.
Dia mengambil sebuah kantong plastik dan memasukan buku Nada Kedelapan tersebut kedalamnya.
Hujan
turun deras,
Rosena tidak berteduh, tetapi seperti merasa menikmati air hujan yang menguyur tubuhnya.
Mungkin dia merasa kehidupannya yang dirasa tidak enak akan ikut luntur terbawa air hujan.
Rosena tidak berteduh, tetapi seperti merasa menikmati air hujan yang menguyur tubuhnya.
Mungkin dia merasa kehidupannya yang dirasa tidak enak akan ikut luntur terbawa air hujan.
Pagi
ini cerpen ini dibuat dengan terpaksa.
1048
61112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar