Rabu, Desember 19, 2012

Rosena Nmotise




Saya suka membaca cerpen,
tetapi saya tidak suka membuat cerpen karena saya merasa tidak bisa membuat cerpen.


Pada awalnya saya ingin membuat tokoh Rosena sebagai sebuah simbol dalam cerita. Saya tidak mau menjelaskan Rosena sebagai simbol apa, saya biarkan pembaca mengartikannya sendiri. Toh saya juga tidak tahu dan tidak bisa menjelaskan apa, he he he


Ini sebenarnya adalah cerpen yang harus dibuat untuk kepentingan tugas kuliah.
Tugas kuliah tersebut adalah membuat sebuah cerpen berdasarkan lirik sebuah lagu. 
Lagu yang saya pilih adalah "Don't Worry" , lagu reggae yang dinyanyikan oleh Tony Q.
Beberarap waktu yang lalu saya menganggap lagu tesebut sebagai lagu mars dalam membuat skirpsi.
Lirik-liriknya membuat saya bersemangat dan pantang menyerah dalam menjalani perkuliahan. Tetapi sayangnya saya sudah bosan dan tidak terinspirasi apa-apa lagi dari lagu itu, he he he

Ide dari cerpen ini awalnya adalah perjuangan seorang mahasiswa untuk lulus, ha ha ha
Tidak tahu kenapa dalam proses pembuatannya saya memiliki keinginan untuk membuat cerpen ini terlihat imut. Bisa jadi penyebabnya adalah mata kuliah yang satu ini saya ambil sekelas dengan anak semester 3. Sebenarnya saya belum mengambil mata kuliah ini karena suatu kecelakaan, orang-orang mengira saya mengulang mata kuliah ini. Saya biarkan saja, toh saya sendiri juga memang sering mengulang, ha ha ha

Saya sebenarnya ingin membuat tokoh Rosena ini bagaikan mawar indah yang tidak bisa melihat keindahannya sendiri. Salah satu penyebabnya adalah saya sering muak melihat orang-orang yang tidak indah tetapi sok indah (artikan sendiri, he he he ). Saya ingin memperlihatkan kepada orang-orang sok indah tersebut kalau ada sesosok makhluk yang benar-benar indah tetapi tidak pernah merasa indah, apalagi sok indah. Saya bukan cerpenis handal, jadi maklum saja ide-ide saya tidak bisa disampaikan dengan jelas, he he he

Beberapa perempuan berkata kepada saya agar membuat lanjutan cerita ini, dan mereka berharap cerpen ini berlanjut menjadi novel. Mungkin pada saat itu mereka sedang kesambet, atau mungkin berusaha menghibur saya karena tulisan saya jelek.

Selamat membaca, 
Salam #mawarnakal ...


  
Rosena

Pagi ini terasa sangat memuakan, udara yang tercium tidaklah terasa segar tetapi merasa busuk. 
Burung-burung tak terlihat beterbangan di langit, matahari juga terasa membuat panas keadaan.
Pagi itu Rosena harus terpaksa harus mandi. Sebagai seorang perempuan dia terasa tertindas, pasalnya semua orang selalu menuntut dia untuk terlihat sok imut.
“Apa sih gunanya mandi? Untuk membersihkan badan khan? Sedangkan aku merasa badanku bersih? Aku akan mandi kalau aku sudah merasa gatal-gatal, kenapa menjadi perempuan selalu dituntut untuk selalu ribet.” keluhnya sambil menenteng handuk masuk ke kamar mandi.
Tak lama kemudian mahasiswa semester 8 itu pun keluar dari kamar mandi. Aroma badannya wangi aroma keterpaksaan menjalani pagi ini. Setelah berganti baju dia langsung menuju ke dapur yang terletak di samping kosannya. Seperti biasanya, dia akan sarapan susu dan roti tawar.
Sembari dia membuat susu, di mulutnya ternyata sudah terlihat roti tawar yang sudah tampak setengah. Dia memang tak pernah berlama-lama sewaktu mengunyah makanan karena dia merasa itu tak berguna, toh akhirnya sama-sama masuk ke perut juga.  
“Lama-lama kok hidupku rasanya muter-muter seperti susu ini ya?
diaduk-aduk agar bisa campur jadi satu, cuma untuk diminum.” Keluhnya sewaktu mengaduk susu cair dengan air panas, menu untuk sarapannya.
“Bertele-tele dibuat, berlama-lama diaduk, sama saja khan? Sebentar diminum juga sudah habis.
aku agak tak paham dengan sesuatu yang seperti ini. Menurutku membuat susu untuk diminum dengan cara mengaduknya hanya berfungsi untuk pemanis dilidah. Seandainya aku minum air hangat 1 gelas dan kemudian minum susu cair secara terpisah dalam waktu berdekatan, mungkin gunanya akan sama saja.“ ucapnya setelah menghabiskan susu hangat satu gelas sebelum dia bergegas berangkat kuliah.

Dia berjalan kaki dari kosannya menuju kampus, jarak kosnya tidak begitu jauh.

Sepatu yang digunakan tidak dipakainya dengan benar, seatu tersebut diinjak bagian belakangnya. Sepatunya adalah sepatu bekas kakaknya dulu yang tidak dipakai lagi karena sudah kekecilan. Hal kecil yang tidak begitu penting tersebut menjadikan Rosena seperti seorang pencuri perhatian. Tetangganya ada yang sudah terbiasa melihatnya, ada juga yang tetangganya yang walaupun sudah sering melihatnya masih juga terheran-heran, ada juga orang-orang yang menolehkan kepala setelah melihatnya cara mengenakan sepatu, sepertinya hendak meyakinkan apa yang dilihatnya.
Rosena memiliki paras yang cantik, rambutnya yang panjang tergerai cantik alami walaupun tidak pernah ke salon. Walaupun cara memakai sepatunya sembarangan, tetapi dengan sekali melihatnya siapa pun akan tahu kalau sepatu dia adalah sepatu converse, sepatu yang cukup ternama dan cukup mahal.
Sebenarnya Rosena adalah anak orang kaya yang kekayaannya secara berlebihan. Ayahnya memiliki showroom mobil, sedangkan ibunya mengelola 2 rumah makan yang cukup besar. Mungkin dia adalah anak yang bodoh karena tidak memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya, seperti memakai uangnya untuk perawatan ke salon, membeli pakaian bermerk ternama dengan harga mahal, atau mungkin meminta kendaraan jenis terbaru untuk mengantarnya kemana saja dikota tepat dia kuliah.  
Kurang dari 10 menit sampailah dia di depan pintu kelas, dia sudah terlambat beberapa menit dari jam mulai pelajaran seharusnya, tetapi yang dilihatnya pertama kali adalah bangku dosen yang kosong. Kemudian dia bertanya kepada salah seorang temannya yang sedang autis bodoh dengan handphone canggihnya setelah menepuk pundaknya, “Dosennya kemana? Sudah datang?”.
“Kamu kaya nggak tahu saja kebiasaan dosen itu, paling-paling telat.”
“Tapi ada khan? Aku soalnya mau bimbingan skripsi hari ini.”
“Kamu mau bimbingan? Ciyus? Miapah?”
“Hah? Kamu itu ngomong apa? Aku nggak dong bahasa kamu.”
“Maksudku kamu beneran mau bimbingan?”
“Ya iyalah, ini lagi mau ngajuin proposal.”
“Buru-buru cepet lulus banget”. Sahut temannya acuh tak acuh sambil tetap autis bodoh dengan handphone canggihnya. Setelah mendengar jawaban dari temannya yang bermuka maksa dengn penuh dempulan, dia segera mencari tempat duduk.
Tak lama kemudian dosen yang seharusnya datang tepat waktu itu pun tiba.
“Anak-anak, bapak ada acara. Sebagai gantinya kalian membuat tugas. Ini tugasnya sudah bapak siapkan. Oh iya, teman kalian yang tidak masuk tidak usah diberi tahu kalau ada tugas. Kalian besok absensi 2 kali, kalau mengerjakan tugas.” Kata bapak itu sembari bergegas meninggalkan kelas.
“Sebentar Pak!” teriak Rosena.
“Ada apa ya? Tanya dosen tersebut.
“Saya mau menyerahkan proposal skripsi Pak.” Ucap Rosena sambil mendekat dan segera menyerahkan proposalnya.
“Nanti saya baca. Minggu depan kamu datang ke ruangan saya ya.” Jawab dosen tersebut sambil meninggalkan Rosena pergi. 


Rosena tidak menjawabnya, dia tidak terlihat jengkel karena tingkah dosen tersebut yang terkesan seenaknya.


Matahari semakin terasa menyebalkan panasnya, kicau burung tidak terdengar satu ekor pun, hanya tercium udara panas dan terdengar berisik kendaraan.
Rosena menghindari itu semua. Dia memilih berada di taman belakang kampusnya dan duduk dibawah pohon yang cukup besar dengan lesehan tanpa alas. Tidak ada yang dia kerjakan, dia cuma duduk –duduk saja nyaris seperti anak hilang. Dia merenung merasa muak dengan hidupnya yang terasa seperti sudah dipaksa dan tanpa kebebasan.
Kejadian pagi hari juga mengganggunya, mulai dengan kebiasaan mandi yang dia tidak suka, teman tololnya penganut aliran konsumerisme fanatik, dan proposal skripsi yang sudah dibuat berminggu-minggu tetapi ditanggapi dengan tidask sesuai harapan. Semuanya seperti sudah terencana untuk membuat hari indah Rosena menjadi terasa berantakan.
Sampai sekarang ini dia masih bingung kenapa perempuan harus terlihat cantik dan anggun. Dia selalu bertanya-tanya kenapa harta kekayaan selalu menjadi sesuatu yang dipamerkan. Dia selalu tidak terima dengan keadaan dimana orang harus berusaha tampak sempurna. Sebenarnya dia hanya ingin hidup apa adanya dengan sesukanya, termasuk perempuan yang tidak dipandang jijik ketika tidak mandi.
Tak lama kemudian dia mengeluarkan buku yang berjudul Nada Kedelapan. Buku itu dilihatnya secara perlahan. Dia buka, dia baca, dan dia merasa sangat menikmatinya. Sesekali dia juga terlihat tampak jelas sekali sedang menahan senyum.
Sebenarnya buku itu adalah buku kumpulan puisi anak-anak disebuah panti asuhan. Buku itu nantinya akan diperbanyak dan akan dijual untuk kelangsungan hidup anak-anak di panti asuhan tersebut. Rosena sendiri yang mengurusi dan membantu penerbitan buku itu.
Tiba-tiba dia menutup buku itu, dan melihat sampulnya. Nada Kedelapan. Sebuah nada yang belum diketemukan. Dia kemudian teringat pertemuannya beberapa tahun lalau dengan Budi di bawah sebuah jembatan. Budi adalah penghuni panti asuhan yang dia carikan dana. Sewaktu itu Budi yang berpakaian dekil dan compang-camping sedang terisak menangis, dan Rosena menghampirinya.

“Kamu kenapa dik?” Tanya Rosena sambil membelai lembut kepala anak itu.
“Saya habis dipalak sewaktu ngitung uang. Padahal uangnya mau saya kasih ke bapak.”jawabnya sambil tersedu-sedu.
“Kamu ngamen? Minta-minta? Disuruh bapakmu dik?”
“Saya nggak disuruh, saya minta-minta sendiri”
“Pulang aja yuk, nanti kakak antar.”
“Nggak mau, saya mau kasih uang ke Bapak.”
Walaupun Rosena tidak mengenal anak itu, dia merasa iba dengan anak itu. Pakaian anak itu tidak membuatnya Rosena merasa jijik dan berpikiran buruk kepadanya.
“Gini saja dik, uang kamu kakak tukar. Tapi kakak harus antar kamu pulang.”
“Beneran mbak? Tanya anak itu dengan polosnya sambil mengusap air matanya.
“Ehm, iya. Malah mbak tukar 2 kali lipat.” Ucap Rosena sambil menyesesuaikan panggilan anak itu.
“Rumahku di panti asuhan diujung jalan sana. Ada gang kecil nanti masih jalan sebentar. Mbak jadi mengantar?” tanya anak itu dengan riang.
“Ayo segera pulang. Bapakmu sudah menunggu dirumah.” Ajak Rosena sambil mengusap air mata anak itu.

Setelah sampai di panti asuhan tempat Budi tinggal, Rosena menjadi tahu kalau rumah tersebut akan digusur karena pengurus panti asuhan tersebut sudah tidak pernah mendapat donatur lagi. Anak-anak yang tinggal disitu terpaksa harus bekerja sepulang sekolah, bahkan ada yang sudah berhenti sekolah.

Rosena sangat benci keadaan yang ada disekitarnya, termasuk menjadi anak orang kaya yang dipandang orang. Dia merasa terpenjara dengan keadaannya sendiri, tidak ada yang memaksanya, tetapi dia merasa dituntut untuk terlihat sebagai perempuan yang sempurna dimata  banyak orang. Dia sangat benci keadaan itu.
Kali ini dia akan merasa sangat bersalah sekali karena dia harus berkata “Pak, saya adalah..? Saya akan membeli rumah ini berapapun harganya agar anak-anak asuhan bapak bisa tetap tinggal disini. “
“Bukannya apa, tetapi mbak siapa ya?” tanya bapak pengurus panti tersebut dengan gemetran tidak percaya.
“Orang tua saya kebetulan adalah orang yang mampu. Dan saya yakin saya bisa meminta orang tua saya untuk membeli rumah ini.”
“Saya bukan tidak mau menerimanya. Tetapi saya merasa tidak enak kepada mbak. Saya belum pernah bertemu dengan mbak.”
“Tidak apa-apa Pak, saya lahir batin ikhlas.”
“Ini bukan ikhlas dan tidak ikhlas mbak, saya benar-benar merasa tidak enak”Ucap Bapak itu dengan mata yang mulai berair.
“Saya tidak pernah membantu orang lain. Mungkin ini saatnya saya membantu orang lain Pak.” Jawab Rosena dengan senyum manis dan menahan air mata.
“Mbak membayar biaya kontrakannya saja saya sudah berterimakasih sekali.”
“Tidak Pak, saya akan membeli rumah ini untuk anak-anak yang ada disini.”

Suasana tiba-tiba menjadi haru, Rosena dan bapak pengurus panti asuhan berpelukan. Anak-anak yang melihatnya juga ikut terharu. Budi yang saat itu melihat segera pergi kekamarnya untuk menangis keras-keras.

Tanpa sadar Rosena tersenyum dengan mata berair mengingat kejadian itu. Setiap mengingat pertemuannya dengan Budi, dia selalu merasa sangat bersyukur dengan keadaannya saat ini.  Dia menjadi ingat kenapa dia tidak suka mandi dan terlihat rapi sejak awal kuliah, Karena dia tahu tidak semua orang dapat minum air bersih tidak semua memiliki pakaian yang kayak pakai.
Dia merasa belajar banyak dari anak kecil yang bernama Budi. Sebelumnya dia pernah menyesal karena dilahirkan sebagai anak orang kaya raya, tetapi setelah kejadian itu dia merasa bersyukur karena dia bisa menolong orang lain dengan keadannya itu. Setelah pertemuan dengannya, dia menjadi lebih bersemangat menjalan hari-harinya, karena dia tahu banyak hal yang harus dilakukan sebelum mimipi-mimpinya terwujud.


Cuaca menjadi mendung perlahan, 
Rintik-rintik air sudah terasa dikulit.
Rosena tidak segera berlari mencari tempat untuk berteduh,
tetapi dia segera mencari tempat sampah dan mengobrak-abrik isinya.
Dia mengambil sebuah kantong plastik dan memasukan buku
 Nada Kedelapan tersebut kedalamnya.
Hujan turun deras, 
Rosena tidak berteduh, tetapi seperti merasa menikmati air hujan yang menguyur tubuhnya.

Mungkin dia merasa kehidupannya yang dirasa tidak enak akan ikut luntur terbawa air hujan.


Pagi ini cerpen ini dibuat dengan terpaksa.
1048
61112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar