Rabu, Desember 19, 2012

Manusia Setengah Manusia


Semua manusia menganggap bahwa manusia adalah ciptaan tuhan yang paling sempurna.
Menurut saya mereka semua terlalu sombong untuk mengatakan bahwa mereka adalah makhluk yang sempurna.

Lebih menjerumus lagi,
laki-laki lebih sempurna daripada perempuan.
Hampir semua manusia berpikiran seperti itu,
dan perempuan sebagai makhluk nomor 2, mengiyakannya dengan begitu saja.

Saya tidak suka melihat pemikiran-pemikiran yang dianut oleh sebagian besar orang tersebut, menurut saya mereka salah kaprah. Tanpa ada urusan dengan asal perempuan dari tulang iga laki-laki dan  puluhan bidadari cantik yang dijanjikan di sorga, saya ingin menceriktakan pandangan saya bahwa lelaki adalah sisi buruk perempuan.

Cerpen saya berjudul manusia setengah manusia karena menurut saya tidak ada manusia yang benar-benar sempurna seperti apa yang diharapkan, diidam-idamkan, dan dikhayalkan oleh orang-orang.

Sekedar memberi tahu, saya tidak bisa membuat cerpen.
Jadi harap maklum kalau cerpen saya jelek, he he he

Selamat membaca,
Salam #mawarnakal saja ...



Manusia Setengah Manusia


Manusia tidak pernah sempurna dalam pemikirannya,
selalu ada cacatnya,
begitu juga aku, kamu, dan mereka,
tanpa terkecuali, semua manusia dalah cacat.
Kecacatan bermula dari ketidakpuasan,
dan bertambah cacat ketika menuntut perubahan,
perbedaan keadaan dari satu keadaan ke keadaan sebelumnya dinilai suatu anugerah.

Tetapi,
tidak sembarang orang yang bisa menerima anugerah.


Di teras rumah, malam hari.
Pada saat itu banyak bintang bertebaran tidak tertata rapi di langit, sehingga banyak orang yang bermuluk-muluk berharap ada bintang jatuh dan bermuluk-muluk juga meminta permintaannya dikabulkan.
“Kamu inginkan anak kita terlahir perempuan atau lelaki?” Tanya seorang ibu yang sudah hamil lebih dari 3 bulan.
“Untukku sama saja, perempuan atau lelaki sama saja. tetapi aku sudah mempersiapkan nama yang bagus kalau anakku nanti terlahir perempuan. Namanya adalah Rosena. Mungkin nama panjangnya Rosena Virginia Putri, ya, Rosena Virginia Putri Kartono, namaku terletak di belakang namanya. Aku tidak bisa mendefinisikannya, yang pasti ada unsur keindahan bunga mawar, kecantikan wanita, dan keagungan seorang perawan, tak lupa juga namaku dibelakang anak itu nanti, agar orang tahu siapa bapaknya” Jawab suami ibu tersebut dengan lantang dan penuh semangat.
“Bagaimana kalau anak kita terlahir laki-laki? Firasatku berkata anak dalam kandunganku ini laki-laki.” Tanya ibu hamil itu dengan nada agak cemas. Ibu hamil tersebut mendadak cemas ketika mlihat wajah suaminya yang tampak girang berbunga-bunga.
“Aku khan sudah bilang tidak apa-apa, sama saja. Hanya saja, kalau anakku terlahir perempuan aku sudah menyiapkannya sebuah nama.” Tanpa diketahui sebabnya, percakapan sepasang suami istri tersebut tiba-tiba saja mulai terasa seperti perdebatan sengit.
“Sepertinya kamu tidak siap punya anak, anak laki-laki maksudku.”
“Kalau aku bilang tidak apa-apa ya tidak apa-apa, jangan kamu permasalahkan. Lebih baik kamu fokus merawat kandunganmu saja. Terlahir perempuan atau laki-laki sama saja.”
“Aku tahu sifatmu, sudah berapa lama kita saling kenal?
Kalau kamu ingin mendapat sesuatu kamu akan berusaha untuk mendapatkannya.
Sekali ini, kamu tidak bisa berbuat apa-apa kalau anakmu terlahir laki-laki.”
“Sepertinya kamu yang bermasalah,
aku tidak memiliki masalah dalam kelamin anak kita nanti Bu.
Sudah kenal cukup lama tetapi kamu belum juga mengenal aku.”
“Aku mengenalmu, dan sangat mengenalmu.”
“Kalau kamu mengenalku seharusnya kamu tidak mengkhawatirkanku.”
“Karena aku sangat mengenalmu dalam waktu yang cukup lama di LSM,
itu yang membuatku khawatir.” Suara ibu hamil tersebut terdengar datar.
“Apa yang kamu khawatirkan dari aku?” Suaminya pun juga menjawab dengan suara yang tak kalah datar.
“Kamu terlalu mengagung-agungkan sosok berkelamin wanita.
Sampai-sampai dipikiranku kamu menganggap bahwa lelaki tercipta dari sisi buruk perempuan.”
“Ya, itu memang benar. Lalu apa masalahnya.”
“Masalahnya bagaimana kalau anak kita nanti terlahir laki-laki.”
“Hentikan!” tiba-tiba saja suami membentak dan dapat digambarkan dengan jelas suasana pada waktu itu menjadi sepi sesepi berada di dasa lembah.

Tanpa pertanyaan dan pernyataan lagi,
Malam itu percakapan suami istri tersebut seketika berakhir.




“Kelamin adalah masalah sepele bentuk alat kencing.” Hal tersebut merupakan keyakinan yang setiap hari selama bertahun-tahun selalu dikuatkan dalam hatinya, hati seorang bapak yang berusaha menerima kenyataan bahwa anak perempuan yang diharapkannya ternyata berkelamin laki-laki. 

Setelah lebih dari 16 tahun,
percakapan tersebut tak pernah terdengar lagi kelanjutannya, sekali pun.

“Seno, jangan lupa pulang sekolah langsung buat KTP ya nak.” Pesan ibu kepada anaknya sebelum berangkat sekolah dengan berjalan kaki.
“Iya Bu.” Jawab anak yang bernama panjang Roseno Putra Kartono dengan lembut. Anak lelaki itu pun segera berangkat ke sekolah, dengan perasaan tidak senang seperti biasanya. Dan tidak ada yang tahu.


Pergaulan sesat adalah pergaulan bangsat,
yang bangsat adalah yang jalang,
dan yang jalang cuma wanita, aku.

Sekolah adalah tempat membosankan dan paling memuakan untuk Seno,
dan tak ada yang tahu, hanya Seno dan kawan-kawannya yang mengetahui keberadaan sebenarnya.
Hari-harinya dilalui dengan sebutan banci, jalang, keple, dan sebagainya yang bernada melecehkan sosok kelaki-lakiannya.

Apa salahnya memiliki gaya bicara yang lembut?
Apa salahnya aku suka berpakaian rapi?
Apa salahnya aku tidak suka melihat sesuatu yang kotor?
Apa salahnya aku?
Aku tidak bersalah!
Pertanyaan tersebut selalu dipertanyakan Seno setiap hari sedari kecil, apa yang salah dari hidupnya?

Perempuan tidak pernah bersalah, kenapa dijadikan sebagai alasan olok-olokan? Apa yang jalang cuma perempuan? Pelacur laki-laki pun ada. Dan mereka lebih munafik daripada pelacur perempuan yang berani terang-terangan mengakui dirinya sebagai pelacur.
Apa suka bersih dan rapi itu salah? Kalau pun salah. sekarang sudah banyak wanita tomboy.
Apakah masih salah? Bukannya emansipasi wanita sudah ada lama?
Aku percaya perempuan tercipta tidak untuk disalahkan dan dijadikan salah.

Aku jadi ingat sewaktu aku masih kecil, ketika itu aku menghabiskan sore hingga malam hari bersama bapakku. Aku lupa alasannya, dan tiba-tiba saja aku bertanya kepada bapakku, “Pak, beda laki dan perempuan itu apa?”.
“Kamu kenapa Tanya? Kamu pengen jadi perempuan?“, jawab bapak sembari tertawa.
“Bedanya apa Pak?” Aku pertegas pertanyaanku.
“Kamu dengar baik-baik, lelaki adalah sisi buruk wanita.”
“Apa itu wanita Pak?” Sahutku.
“Wanita itu perempuan. Bapak ulang ya, kamu dengarkan. Dan jangan dipotong, kalau kamu memotong omongan orang lain berarti kamu tidak sopan. Kamu seharusnya sopan seperti ibumu, ibumu perempuan yang sangat sopan, dan juga cerdas. Lelaki adalah sisi buruk perempuan, dan perempuan adalah wujud sempurna dari laki-laki.“
“Maksudnya apa Pak?”
“Maksudnya, perempuan lebih baik dari laki-laki, seperti itu.”
“Kalau banci Pak?”
“Banci? Menjadi banci itu tidak salah. Kesalahan mereka adalah mereka tidak bisa menerima keadaan yang sebenarnya kalau mereka laki-laki. Mereka terlalu mengagumi sosok perempuan, sehingga merubah dirinya agar seperti perempuan.”
“Kalau begitu yang menentukan lahir sebagai laki dan perempuan siapa Pak?”
“Kalau kelamin bisa ditentukan, lalu bagaimana ada lelaki di dunia? Pasti mereka semuanya memilih menjadi perempuan. Kelahiran tidak bisa ditentukan.”
“Kelahiran tidak bisa ditentukan? Seperti mbak-mbak mahasiswi di seberang rumah? Yang diusir orang tuanya karena hamil? Hamil asalnya darimana Pak..?”
“Aku masih ingin menanyakan hal pada malam itu, tetapi bapak segera menyuruhku untuk masuk kamar. “Sudah malam, kamu masuk kamar sana, belajar biar pinter. Jangan tidur terlalu malam juga.”

Malam itu mata bapak terlihat berkata kepadaku “kamu tidak sopan”.


Tiba-tiba saja ada yang melempar sesuatu ke kehidupanku,
mengoyakkan pikiranku, sehingga pikiranku berantakan.

“Plak!” Suara buntalan kertas bekas yang dilempar ke kepalaku. Aku tahu itu kertas bekas setelah melihatnya terjatuh di lantai setelah mengenai kepalaku.
“Bajingan!” Tiba-tiba saja aku dapat mengeluarkan makian. Seketika itu kelas menjadi sepi, semua orang melihatku. Mungkin aku terbiasa mendengar makian-makian yang diberikan untuk, dan aku hanya berusaha mengembalikannya dalam bentuk 1 frasa.  Aku paling benci kalau aku terganggu saat asyik berjalan-jalan dalam pikiranku. Kalau pikiranku terganggu, dan aku tersesat, lalu siapa yang harus disalahkan?
            “Kamu ngomong apa Seno! Segera keluar, jangan masuk pelajaran saya hari ini!” Bentak guru baru berkelamin lelaki yang sedang mengajar, padahal beberapa bulan yang lalu dia cuma numpang KKN di sekolahku.
Dan aku keluar begitu saja tanpa dimintai dan memberi penjelasan apa pun.

“Dasar Mawar banci! Nama kamu diganti Rosena saja, biar lebih imut!” Makian teman-temanku yang sering kudengar itu, seperti memberi sorak-sorai bangga kepadaku, karena ini adalah pertama kalinya aku berkata kotor dengan mengumpat bajingan. aku berhenti sebentar, tidak ada lagi makian yang kudengar. Aku lihat orang-orang yang melihatku, termasuk guru baru yang tiba-tiba saja membentak dan mengusirku keluar tanpa tahu duduk perkaranya.
Aku merasa hebat, hari ini umurku 17 tahun. Umur  tersebut adalah umur diakuinya keberadaan seseorang, yang dilambangkan dengan dimilikinya KTP. Aku menyambutnya dengan umpatan. Aku berharap bapakku tidak tahu, aku takut tidak diakui sebagai anaknya karena aku tahu sifat bapakku yang yang tidak suka dengan hal-hal yang berbau kerusuhan.


Aku masih berdiri dengan kesombongan,
kebanggan tersebut aku dapatkan bersusah payah dalam waktu yang cukup lama.
Biar saja orang lain melihat heran,
yang pasti aku tidak boleh heran kepada diriku sendiri,
karena aku sendiri yang tahu diriku sendiri.

Aku masih berdiri di depan kelas, dengan gagah berani layaknya pahlawan proklamasi. Aku ingin menunjukan kepada orang-orang yang melihatku, kalau cuma disuruh berdiri seperti ini tidak terasa apa-apa buatku. Aku ingin membuktikan kepada guru baru yang lagaknya sok hebat, kalau aku tidak butuh bangku sekolahan dimana ada pengajar yang tidak masuk akal seperti dia.
“Ini jam pelajaran saya. Kamu masuk kelas saja, kamu sudah tidak disetrap. Saya perbolehkan kamu masuk.” Ucap seorang ibu guru setengah baya kepadaku. Aku sekarang jadi tahu apa yang dimaksudkan bapakku “lelaki adalah sisi buruk perempuan”.
“Tidak Bu, saya memilih disini. Sudah terlanjur nyaman. Saya bebas memikirkan apa yang ingin saya pikirkan, tidak seperti didalam kelas. Saya juga bosan, saya ingin berdiri di sini sampai jam sekolah selesai.” 
“Itu terserah kamu, itu pilihanmu. Kalau kamu kelelahan, kamu boleh masuk dan duduk di kelas.” Jawab ibu guru tersebut kemudian masuk ke kelas untuk mengajar.
Aku manfaatkan waktu itu untuk menikmati kesendirianku.


Aku ingin segera pulang, dan segera membuat KTP,  dan waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah bel berbunyi aku segera masuk kelas. Sewaktu itu bu guru ramah tadi masih mengajar. Saya segera ambil tas begitu saja, dan berpamitan.

Teman-teman di kelas melihat ada yang berbeda denganku, mereka hanya melihat terheran-heran. Aku berpikir mungkin karena umurku sudah 17 dan sifat alami laki-lakiku keluar. 


Di Kelurahan aku disuruh mengisi formulir biodata untuk KTP. Aku bingung.
tanpa disadari aku menulis kelaminku perempuan dan namaku Rosena Putri Kartono.


Dibuat dari jam 15.00 sampai jam 16.23,
18 Desember 2012

















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar