Rabu, Juli 30, 2014

Parade Hina


Akhirnya selesai juga parade busuk ini.
Ya, parade ini benar-benar busuk.

Semua berkata kita akan melakukan perjalanan untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Singkat kata begitu.
Semua berlomba memberikan mimpi terindah yang diminati oleh banyak orang.

Sebelum semua orang merasa silau oleh janji-janji yang dikoar-koarkan.
Ada-ada saja ide nakal yang sungguh tidak masuk diakal.

Sebelum mata seseorang silau,
mata yang nantinya akan silau itu segera ditutupi terlebih dahulu agar nantinya tidak silau.

Sebelum telinga-telinga mendengar harapan-harapan yang mungkin palsu,
banyak telinga yang ditutupi oleh kata-kata hasutan yang lebih terdengar indah.

Sebelum dinyatakan kalah,
Sebelum habis kesempatan,
ini adalah detik-detik yang benar-benar genting.

Mata harus dibutakan sebelum bisa melihat apa yang seharusnya terlihat,
Telinga harus dibuat tuli sebelum mendengar apa yang seharusnya didengar.

Dan pada saat penentuan,
Semua sudah sama-sama tahu pihak mana yang kalah,
dan pihak mana yang jelas-jelas menang.

Hilangnya uang untuk taruhan adalah masalah di nomor ke sekian,
Malu berwajah adalah alasan mutlak untuk tidak mau kalah.

Semua orang menyatakan kemenangannya,
semua orang mendapat mandat.

Bagaimana mungkin?

Orang-orang bodoh semakin dibuat bodoh dengan kenyataan yang sengaja diperlihatkan.
Orang-orang pandai dibuat merasa bodoh dengan keadaan yang memang seharusnya tidak terjadi.

Walau pun terkesan benar-benar hina,
ini benar-benar terjadi, dan sudah terlewati.
Dan jangan lupa, ini belum selesai.


Kalimat yang paling menjijikan dan benar-benar munafik adalah mengkafirkan orang.
"Dia adalah kafir.
Apa yang kamu harapkan dari seorang kafir?
Jawabannya adalah neraka."

Yang bersangkutan bilang tidak tahu-menahu, padahal sebenarnya tahu benar kelakuan nakalnya yang memang tidak masuk akal.
Kebebasan memilih sudah ternoda dengan kalimat kafir.

Yang taat dengan tuhan dan agamanya dengan mantap berkata "dia kafir, aku tidak akan memilih dia."
Yang mencoba berpikir dengan otak dan hati nuraninya dengan mantap berkata "aku murtad, aku lebih memilih kafir dan memilih menjadi kafir yang baik hati."

Ini bukan lagi parade bebas memilih,
tetapi ini juga parade busuk penyesatan beragama dan bertuhan.

Orang-orang yang tersesat itu lupa, atau mungkin benar-benar tidak tahu kalau banyak yang korupsi atas nama agama.
Bahkan sekumpulan kertas yang disebut kitab suci akan dijadikan sekumpulan uang pribadi.
Tanah suci dijadikan lahan korupsi.
Mereka benar-benar tidak tahu, atau mungkin lupa kalau para pelakunya adalah pengikut tuhan yang terlihat taat dan fanatik.


Dan pada saat penghakiman,
Si tersangka pun disebut dengan jelas sebagai tersangka.

Si tersangka malu bukan kepalang,
kemudian dia membuat isu itu tidak benar.

Dia menolak kenyataan,
dia sendiri yang berkata : aku menolak kenyataan ini.


Aku akan naik banding,
aku akan memberikan bukti-bukti, yang tidak masuk akal sekali pun.

Ah, sayang, bukti yang amat sangat banyak itu akhirnya hilang.


Tetapi jangan senang dulu, aku belum kalah denganmu.

Orang lain berkata aku kalah denganmu, tetapi tidak kataku.

Akan aku jegal setiap langkahmu, itu janjiku.



Dan seketika juga parade ini menjadi parade dendam.

Sementara orang yang selalu difaktakan sebagai kafir yang sudah jahat dari lahir tenang-tenang saja.
Seharusnya dia bisa dengan mudahnya berkata "Ini adalah takdir tuhan kalau saya menang.", tetapi tidak dia ucapkan.

Ini adalah parade kebebasan, siapa saja harus bebas.
Siapa saja bebas memilih tanpa terkecuali.

Dan di parade ini siapa saja harus bisa menang, orang yang tidak tahu apa-apa sekali pun.



Akhirnya selesai juga parade hina ini,
banyak kafir bermunculan dan banyak orang yang mendadak menjadi kafir dalam parade hina ini.

Yang tidak tahu merasa sok tahu,
yang tidak paham menyesatkan ke sesama orang yang tidak paham,
aku hampir saja tidak waras dalam parade ini,
dimana-mana berkata kebebasan memilih tetapi fakta yang ada adalah hasutan.

Aku berkata aku memilih dia, dan aku dibilang tidak waras.
Aku dengan jujur berkata memilih dia, aku dibilang aku ditipu.
Aku dengan santai memilih dia, aku dibilang ini tak sesantai yang kamu anggap, ini adalah hal yang serius.

Aku bilang semoga saja ini sudah berakhir,
Tetapi terdengar samar-samar di telinga " ini belum selesai."