Sabtu, Desember 22, 2012

Warung Nakal Rosenakal


Malam ini mendadak aku punya keinginan,
aku meremehkannya, dengan menyebutnya sebagai keinginan,


aku ragu kalau aku menyebutnya sebagai cita-cita akan terdengar terlalu muluk,
dan bisa jadi tidak akan tercapai, karena yang namanya cita-cita selalu sulit dicapai.


Mendadak saja aku ingin punya tanah yang cukup luas. Nantinya tempat itu akan menjadi semacam tempat nongkrong. Aku memikirkannya matang-matang. Menu yang dihidangkan kurang lebih seperti burjoan. Tidak cuma itu, tentunya tempat itu akan memiliki bartender yang bisa meracik minuman sendiri. Harapanku minuman disitu tidak akan ditemukan di tempat lainnya, he he he

Aku sempat berpikir kalau nanti aku akan menyuruh seorang penjual mi Jawa untuk ngetem saja di lapak tersebut. Tapi tidak jadi, bisa-bisa nanti menu makanan ditempatku malah tidak laku gara-gara ada mi Jawa itu. Belum lagi kalau suatu saat malah penjual mi yang aku beri tumpangan malah merasa dia berhak selamanya disitu, benar-benar suatu kecelakaan. 

Tempat itu nantinya akan menjadi tempat berekspresi. Pengunjungnya boleh membaca puisi, membaca cerpen, bermonolog, menampilkan dagelan, pantomim, sulap, mengajari origami dan poligami, atau apa saja terserah. Penampilnya adalah pengunjung itu sendiri. Jadi pengunjung datang kesitu bukan sekedar iseng-iseng saja, aku yakin sekali akan ada pengunjung yang datang kesitu karena kebutuhan khusus ingin berekspresi. 

Keinginanku ini tiba-tiba saja keluar karena aku merasa kurangnya tempat untuk berekpresi. Aku merasa banyak orang-orang yang ingin berekpresi dilanggar haknya kebebasannya untuk berekspresi. Memang tidak ada yang melarang berekpresi, tetapi belum berekpresi saja sudah diberi pemikiran yang tidak-tidak. Berekpresi harus begini begini begini dan begini, harus seperti itu harus seperti ini. Itu bukanlah sebuah ekspresi. 


Menurutku diam pun juga merupakan suatu ekspresi dengan banyak makna,
melakukan banyak kegilaan yang tidak masuk akal menurutku bisa jadi itu adalah wujud ekspresi suatu keadaan tertentu, mungkin kesepian. 


Orang-orang yang melangar hak-hak kebebasan dalam berekspresi inilah yang sangat mencelakakan. Mereka membodohi dengan berkamuflase mengajari, sehingga seolah-olah tampak seperti orang bijak yang baik hati. Banyak yang merasakan hal itu tetapi tidak bisa mengekspresikannya, dan akhirnya cuma bisa terpenjara oleh ekspresinya sendiri. Orang-orang penganiaya hak kebebasan orang lain ini sebenarnya adalah orang-orang yang teraniaya pada masa lalunya, sehingga dia tidak puas kalau tidak melampiaskan hidupnya yang suram kepada orang lain. Mungkin gampangannya aku busuk dan kamu juga hatus busuk. 

Kejadian seperti itu sering kulihat, keadaannya mirip. Yang ingin berekpresi dengan sebebas-bebasnya harus mencari tempat sendiri untuk mengekspresikan ekspresinya. Dan kalau mau bertahan dalam kepura-puraan maka ekspresi yang terlihat adalah rasa senang, sedangkan ekspresi sebenarnya tidak ada yang pernah tahu.

Aku adalah seorang yang lebih sering berekspresi melalui media tulisan, dan tentunya akan asyik kalau tulisanku itu nantinya dibacakan, difilmkan, atau dipentaskan. Sayangnya, aku tidak bisa mengekspresikan hal itu. Sehingga ketidakterimaanku aku lampiaskan lagi melalui tulisan-tulisan yang aku ciptakan lagi. Aku cuma bisa terima keadaan sebagai penulis. 

Untuk mendapatkan sesuatu harus ada yang dibayar,
untuk mendapatkan sesuatu harus ada yang dikorbankan,
dan aku memilih mengorbankan karyawan yang bekerja di tempatku, ha ha ha 

Karyawan yang bekerja di tempatku harus menaati apa kata pengunjung,
seandainya diminta membacakan puisi, cerpen, naskah monolog, dan sebagainya harus mau,
bisa atau tidak bisa, bagus atau tidak bagus, itu urusan lain,
urusan yang pasti adalah membantu pengunjung yang ingin berekspresi.

Dan aku tidak akan menjadi bos di tempat itu,
aku akan menjadi pengunjung yang setia dn setiap hari bersenang-senang disana..


Salam #mawarnakal :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar