Rabu, November 14, 2012

Sertifikasi Sampai Mati

Sewaktu lahir saya sudah disertifikasi,
saya baru bayi beberapa hari pun orang-orang disekitar saya sudah sibuk menguruskan sertifikasi.

Sewaktu sekolah saya diserfitikasi,
saya masih remaja, labil, tidak dong apa-apa, tetap juga disertifikasi.
Sertifikasi kali ini adalah hasilnya, sedikit.
Saya jadi bisa sombong, menjadi lebih nggaya dan kemlinti,
karena saya mendapat kartu pelajar dari sertifikasi.

Kemudian saat saya umur 17 tahun,
saya harus disertifikasi di kantor-kantor.
hasil akhirnya saya memegang sebuah kartu identitas, yang konon katanya hanya dimiliki oleh orang dewasa.

Saat saya menjadi pemuda,
saya dipaksa dan terpaksa memiliki sebuah sertifikat tanda sudah pernah kuliah dan berhasil lulus.

Pada saat melamar,
sertifikat saya hanya diadu, siapa banyak dia yang menang.

Mungkin sejak saat itu saya sadar kalau hidup cuma dilihat dari sertifikat.


Manusia tidak bisa membelah diri,
dan bagi yang ingin memiliki keturunan salah satu caranya adalah menikah.

Menikah butuh sertifikat, harus membuat.
kalau punya anak, nanti butuh sertifikat, harus membuat.

Singkat cerita,
Urusan sertifikat tadi akan diulangi sama oleh anak saya,
prosesnya hampir sama persis semenjak baru saja lahir.
Semacam perputaran roda hidup, reinkarnasi sertifikat atau apa namanya.

Sampai suatu akhir cerita,
cerita sudah harus berakhir,
saya juga masih butuh berurusan dengan sertifikat.

Di lain tempat,
orang-orang yang memiliki sertifikat banyak,
mereka sudah menyiapkan sertifikat urusan kematian mereka,
entah surat tanda beli peti mati, tanah kuburan,
atau mungkin sebuah tempat du surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar