Rabu, November 06, 2013

Pembodohan Di Bangku Sekolahan

 ( foto : Wisnu Asa Ajisatria )


Setelah sekolah berlama-lama, apakah ada jaminan hidup menjadi lebih baik?

Konon katanya iya,
kalau berhasil menempuh pendidikan,
kalau berhasil menuntut ilmu,
kalau berhasil mencari pengalaman,
kalau berhasil mendapat ijazah,
dan kalau-kalau yang lain.


Siapa yang menjamin?

Jawabannya adalah tidak ada.

Sukses tidak ditentukan oleh berapa lama menempuh pendidikan,
apalagi sekedar berapa banyak ijazah yang dimiliki.


-----------------------------------------------------

Aku pernah tahu sepasang majikan bodoh,
bisa dibilang bodoh karena SD saja tidak lulus.

Tetapi tunggu dulu,
sepasang manusia tidak wajar ini berbeda dengan yang lain.

Mereka cukup dipandang di suatu kota tertentu,
di dunia bisnis yang mereka jalani mereka cukup terkenal.

Walau pun mereka terbukti bodoh dalam bidang akademik,
tetapi ternyata anak mereka adalah cum laude.

Buah tidak jauh dari pohonnya,
berpendidikan atau tidak, ternyata kembali lagi ke rutinitas sehari-hari.

Sepasang makhluk tidak wajar tersebut tidak pernah merasa bahagia walau pun hidupnya bergelimang harta.
Harta mereka sungguh berlimpah seperti di dongeng-dongeng,


Sayangnya mereka punya kesombongan fatal. 
Aku SD saja tidak lulus bisa kaya seperti ini,
kamu sekolah lebih tinggi dari aku kenapa tidak lebih kaya dari aku.

Tidak jarang juga mempertanyakan "kamu itu siapa" kepada orang-orang yang berjasa di sekitarnya?
Padahal tanpa adanya orang-orang disekitarnya sepasang makhluk tidak wajar tersebut mungkin sudah jadi hiasan museum karena kelangkaannya.

Sungguh disayangkan anak tunggalnya ini memiliki pola pikir seperti orang tuanya yang tidak wajar.


Tidak peduli memiliki ijazah sebanyak apa pun, cum laude sekali pun,
kalau cara berpikirnya tidak wajar tetap saja hidupnya tidak wajar.

Satu lagi fakta pendidikan tinggi tidak mempengaruhi cara berpikir dan gaya hidup.


 ----------------------------------------------------------------------------------


Aku pernah punya teman anak seorang tukang becak.
Dia bersekolah di universitas cukup ternama di Indonesia secara cuma-cuma, karena kepandaiannya.

Kehidupan di keluarganya cukup menyenangkan.

Pintu selalu terbuka untuk siapa saja,
kehidupan khas orang jaman dulu yang belum tersentuh perkembangan yang memuakan.

Bersikap ramah kepada siapa saja,
Menganggap keluarga kepada siapa saja yang dikenalnya,
Walau pun terkesan menyenangkan tetapi aku malah kasihan kepada orang-orang seperti mereka.

Mereka sangat mudah ditipu karena kebaikannya sendiri.
Memang, lemah-lemah teles sek neng ndhuwur sek mbales,
tetapi tetap saja ada rasa kasihan kepada orang-orang baik seperti mereka.

Hubungan pertemanan kami pun harus berakhir,
Setelah aku tahu temanku itu ternyata jalang.

Aku paling benci kepada orang-orang jalang.

Pernah dia cerita kepadaku,
ada ayam salah berkokok sewaktu dia di desa,
dan ternyata dia hamil.

Dia sangat ketakutan,
dia kemudian bernazar, tidak akan bermesum ria lagi,
secara rutin dia beribadah pada jam-jam tertentu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Katanya dia tidak hamil lagi.

Tidak tahu, memang dia yang tidak hamil sejak awal,
atau mungkin mitos ayam berkokok benar-benar tidak ada,
atau mungkin bisa jadi tuhan sedang galau atas kehamilannya.

Kalau urusan mesum tuhan tidak masuk hitungan,
beberapa waktu kemudian aku malah menangkap basah dia sedang bermesum ria,
aku memang tidak melihatnya, tetapi hanya mendengarkannya saja.


-------------------------------------------------------------------

Sempat terlintas di pikiranku,
apakah semua cum laude hidupnya jalang?

Terlihat akademik sekali di depan tetapi ternyata jalang di belakang?

---------------------------------------------------------------------

Ijazah cuma selembar bukti kuantitas.

Kualitas siapa yang tahu?

--------------------------


Aku selalu penasaran tentang penilaian guru kepada muridnya.


Ketika seorang guru memberikan angka 8,
apakah dia benar-benar yakin murid tersebut pantas diberikan angka 8?

Apakah guru tersebut yakin murid itu mengerjakan secara jujur?
Apakah guru tersebut yakin murid itu memang mampu mengerjakan, bukan secara kebetulan?


Aku pernah bertanya kepada seorang guru,
bagaimana hukumnya kepada murid yang tidak jujur tetapi nilainya bagus?

Katanya biarkan saja,
biarkan saja dia menanggungnya sendiri di masa depan, maksudnya sewaktu sudah bekerja.
Apakah dia nanti benar-benar mampu atau tidak.

Guru tersebut menjawabnya tanpa memikirkan murid-murid yang nilainya lebih rendah.

Aku tidak bertanya lagi,
aku khawatir nanti cuma akan dijawab : lemah-lemah teles, sek neng ndhuwur sek mbales.

-------------------------------------------------------------------------------------------

Ketika banyak murid-murid lulus sekolah,
tetapi mereka tidak bisa bekerja,
entah karena memang tidak berkualitas, atau mungkin ijazah yang tidak memadahi,
siapa yang merasa bersalah?
Siapa yang bisa disalahkan?

Menurutku salah si murid sendiri yang bersekolah,
Kenapa juga mereka tidak berkualitas?
Kenapa juga ijazah mereka tidak memadai?


Kalau memang itu fakta yang terjadi,
buang saja ijazahmu, anggap tak pernah punya ijazah.

Selesai?
Ya, memang harus begitu.

Lalu bagaimana dengan biaya, waktu, perjuangan, kejujuran, dan segala macam kebodohan selama proses mendapatkan ijazah?

Yah..? Yang namanya penyesalan selalu ada di belakang.
Aku akan menjawab itu dengan ngakak.

-----------------------------------------

Turut bersuka cita atas murid-murid yang sudah berijazah,
walau pun kalian pengangguran, setidaknya kalian adalah pengagguran yang berijazah.. :D


salam #mawarnakal dari bangku pendidikan ;)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar